Sebenarnya pembahasan seputar khol, tahlilan atau selametan bagi saya sudah basi, ibarat nasi sudah sampai setahun. Tapi karena beberapa permintaan ikhwan agar saya menanggapi episode kebongongan public yang dilakukan oleh Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi berkenaan persoalan perayaan khol dan selametan, maka saya sedikit akan memberikan penjelasan pada dalil-dalil yang dibuat bantahan Abu Ubaidah untuk menyalahkan perayaan khol atau selametan.
Abu Ubaidah mengutarakan beberapa dalil untuk menyalahkan khoul, mauled atau selametan yang berputar pada persoalan perkara baru.
Pertama ; Ia menampilkan surat al-Maidah ayat ke 5 yang berbunyi :
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Ma‘idah [5]: 3)
Dengan ayat tersebut, Abu Ubaidah berasumsi bahwa perayaan khaul, selametan atau tahlilan yang dilakukan mayoritas umat muslim merupakan penambahan dalam syare’at Islam.
Jawaban saya :
Menggunakan dalil ayat tersebut sebagai larangan perayaan khaul atau bid’ah-bi’dah hasanah lainnya, adalah sebuah kedangkalan cara berpikir atau usaha ingin menutupi kebenaran dari kaum muslimin yang awam.
Ayat di atas bukan sedang membicarakan sempurnya atau paripurnanya hukum-hukum syare’at secara muthlaq, terbukti setelah ayat itu, masih ada ayat lainnya lagi yang turun tentang hukum seperti ayat tentang hukum riba.
- Jika ayat itu menjelaskan sempurnanya hukum syare’at Islam secara muthlaq, berarti syare’at sebelum ayat ini turun yaitu masa-masa Nabi Saw adalah kurang dan tidak sempurna, barulah sempurna setelah ayat ini turun ?? Justru merekalah yang berasumsi demikian telah menuduh Rasul Saw menjalankan perintah dan syare’at Islam tidak sempurna.
- Jika hukum Islam telah paripurna, kenapa juga ada Lajnah Buhutsid diniyyah, atau komisi fatwa ulama Saudi seperti Ibnu Baz, utsaimin dan fauzan ?
- Kenapa juga jika telah sempurna, Nabi Saw tidak mengatakan adanya pembagian bid’ah lughawi dan istilahi, bid’ah haqiqi dan majazi, bid’ah agama dan dunia ?
- Jika telah sempurna, kenapa juga Nabi Saw tidak menegaskan adanya tauhid Rububiyyah dan ilahiyyah secara tersurat dan gamblang ?
Maka sungguh para ulama kita khususnya ulama ahli tafsir telah mengetahui makna ayat tersebut dan menjelaskan maksudnya pada kita. Berikut penjelasannya :
Imam Qoffal telah menjelaskan maksud ayat tersebut dalam kitab Tafsir Al-Kabir karya Imam Fakruddin Ar-Razi :
أن الدين ما كان ناقصا البتة ، بل كان أبدا كاملا ، يعني كانت الشرائع النازلة من عند الله في كل وقت كافية في ذلك الوقت ، إلا أنه تعالى كان عالما في أول وقت المبعث بأن ما هو كامل في هذا اليوم ليس بكامل في الغد ولا صلاح فيه ، فلا جرم كان ينسخ بعد الثبوت وكان يزيد بعد العدم ، وأما في آخر زمان المبعث فأنزل الله شريعة كاملة وحكم ببقائها إلى يوم القيامة ، فالشرع أبدا كان كاملا ، إلا أن الأول كمال إلى زمان مخصوص ، والثاني كمال إلى يوم القيامة فلأجل هذا المعنى قال : اليوم أكملت لكم دينكم
“ Agama ini sungguh tidaklah kurang, bahkan selamanya dalam keadaan Sempurna, artinya Syaria’t yg di turunkan oleh Allah di setiap waktu telah mencukupi kebutuhan pada waktu itu juga, hanya saja Allah yg Maha Tahu tentu tahu juga pada saat pertama kali Syari’at itu di turunkan pasti bersesusaian dengan kebutuhan pada saat itu yg tidak akan selaras dengan kebutuhan hari esok, maka tidak salah jika ada suatu penetapan hukum yg kemudian di hapus setelah di tetapkan atau di tambah setelah tidak tercantum. Adapun Pada Akhir Zaman ini Allah telah menurunkan Syari’at yg sempurna dan akan selalu eksis sampai hari Kiyamat. Syari’at yg pertama itu sempurna menurut ukuran zamannya, dan yang kedua menyempurnakan untuk segala zaman, maka sehubungan dengan hal ini ayat “Telah aku sempurnakan bagimu Agamamu” ini di turunkan “.
Masih kelanjutan syarh ayat tsb dalam kitab Tafisr Al-Kabir ini :
قال نفاة القياس : دلت الآية على أن القياس باطل ، وذلك لأن الآية دلت على أنه تعالى قد نص على الحكم في جميع الوقائع ، إذ لو بقي بعضها غير مبين الحكم لم يكن الدين كاملا ، وإذا حصل النص في جميع الوقائع فالقياس إن كان على وفق ذلك النص كان عبثا ، وإن كان على خلافه كان باطلا
“ Timbul asumsi dari kaum penolak Qiyas : “ Ayat tersebut menunjukkan bahwa hukum qiyas adalah bathil, karena ayat itu menjelaskan bahwa Allah Swt telah menetapkan hukum dalam segala kejadian. Seandainya dalam agama masih ada satu hukum saja yang tertinggal penjelasannya, maka itu menunjukkan kekurangan agama itu sendiri. Jika telah ditetapkan semua hukum dalam segala kejadian, maka jika qiyas (yang dihasilkan) itu sesuai dengan ketetapan hukum yang ada, maka qiyas tak ada artinya sama sekali . Dan jika qiyas itu bertolak belakang dengan ketetpan hukum, maka qiyas itu bathil adanya “.
Maka kemusykilan ini telah dijawab :
أجاب مثبتو القياس بأن المراد بإكمال الدين أنه تعالى بين حكم جميع الوقائع بعضها بالنص وبعضها بأن بين طريق معرفة الحكم فيها على سبيل القياس ، فإنه تعالى لما جعل الوقائع قسمين أحدهما التي نص على أحكامها ، والقسم الثاني أنواع يمكن استنباط الحكم فيها بواسطة قياسها على القسم الأول ، ثم إنه تعالى لما أمر بالقياس وتعبد المكلفين به كان ذلك في الحقيقة بيانا لكل الأحكام ، وإذا كان كذلك كان ذلك إكمالا للدين.
“ Para ulama yang menetapkan huku qiyas menjawab “ Yang dimaksud dengan telah sempurna agama, adalah bahwa Allah Swt telah menjelaskan hukum pada semua kejadian, sebagiannya dengan nash (ketetapan hukum yang sudah tersurat) dan sebagiannya lagi dengan jalan mengetahui hukum di dalamnya dengan metode qiyas. Maka Allah telah menjelaskan sebuah hukum pada suatu kejadian dengan dua cara; yang pertama dengan cara menetapkan nashnya langsung yaitu ketetapan hukum pastinya, dan yang kedua dengan cara metode yang memungkinkan bisa menarik kesimpulan dari nash tersebut. Maka ketika Allah memerintahkan dengan adanya qiyas dan mukallaf beribadah atas dasar qiyas, maka pada hakikatnya itu adalah sebuah penjelasan bagi setiap hukum, dengan demikian hal itu merupakan kesempurnaan agama. “
Maka dengan penjelasan ini runtuhlah asumsi Abu Ubaidah dan para salafi yang mengatakan tak perlu lagi bid’ah hasanah termasuk perayaan khaul dalam agama ini berdasarkan ayat tsb.
Kedua ; Abu Ubaidah menampilkan ucapan imam Malik untuk melarang bid’ah hasanah termasuk Khaul berikut :
مَنِ ابْتَدَعَ فِيْ الإِسْلَامِ بِدْعَةً يَرَاهَا حَسَنَةً فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ # خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُوْلُ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا فَلَا يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا
“Barang siapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik (bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shalallahu ‘alayhi wa sallam mengkhianati risalah, karena Alloh Ta’ala berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.’ Karena itu, apa saja yang di hari itu (pada zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam) bukan sebagai agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk agama.”
Jawaban Saya :
Sungguh memang benar ucapan imam Malik tersebut. Yang dimaksud bid’ah dalam ucapan beliau itu adalah bid’ah dholalah /sesat, atau meminjam istilah mereka adalah bid’ah syar'iyyah bukan bid’ah lughawiyyah.
Seperti contoh ; melakukan sholat dengan bahasa Indonesia beralasan untuk memudahkan pemahaman makna bacaan-bacaan sholat, maka hal baru ini adalah bid’ah sesat walaupun menganggapnya baik. Atau mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan melakukan sesembahan pada sebuah pohon atau menghanyutkan banyak makanan ke laut, atau berkeyakinan bahwa semua perbuatan hamba majbur (terbelenggu) dengan perbuatan Allah dan tak ada ikhtiyar, maka semua ini adalah bid’ah sesat walaupun mereka menggapnya baik, karena semuanya bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
Dari sini sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan sebuah ta'rif bid'ah yang sebenarnya terlarang ada dalam ta'rif bid'ah syar'iyyah, karena mengada-ngada dalam syare'at jelas semua sepakat itu adalah erlarang dan sesat. Sedangkan bid'ah-bid'ah yang diperbolehkan masuk dalam ta'rif bid'ah lughawiyyah, beliau ingin menawarkan sebuah solusi dari titik permasalahan bid'ah, berikut petikan komentar beliau :
ولذلك فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث ، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة ، ولو فهم أولئك المنكرون هذا المعنى لظهر لهم أن محل الاجتماع قريب وموطن النزاع بعيد . وزيادة في التقريب بين الأفهام أرى أن منكري التقسيم إنما ينكرون تقسيم البدعة الشرعية بدليل تقسيمهم البدعة إلى دينية ودنيوية ، واعتبارهم ذلك ضرورة . وأن القائلين بالتقسيم إلى حسنة وسيئة يرون أن هذا إنما هو بالنسبة للبدعة اللغوية لأنهم يقولون : إن الزيادة في الدين والشريعة ضلالة وسيئة كبيرة ، ولا شك في ذلك عندهم فالخلاف شكلي
"karena itu, sesungguhnya pembagian bid'ah pada bid'ah hasanah dan sayyi'ah dalam konsep kita tidak lain kecuali diarahkan untuk bid'ah lughawiyah yang hanya semata-mata kreasi baru (yang tidak bnertentangan dengan al-qur'an dan al-hadits). Kita semua tidak ragu bahwa bid'ah dalam arti syar'iy tidak ada kemungkinan lain kecuali sesat, fitnah, tercecela dan tertolak ".
Ketiga ; Kemudian Abu Ubaidah melarang khoul dengan alasan : “Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat. Hal ini tidak mungkin karena Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam telah menyampaikan risalah Alloh dengan amanah dan sempurna sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arafah ketika haji wada’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي، فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ، وَأَدَّيْتَ، وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ، وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ، اللَّهُمَّ اشْهَدْ، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang kisah hajinya Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam (setelah beliau berkhotbah di Arafah). Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan, dan menasihati.” Lalu Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkan kepada manusia, “Ya Alloh, saksikanlah, ya Alloh saksikanlah, sebanyak tiga kali.
Jawaban saya :
Perhatikan argumentasi bodoh Abu Ubaidah tersebut ““Seandainya perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam berkhianat “.
Konsekuensi dari argumntasi itu akan menimbulkan pemahaman bahwa setiap apa yang tidak dijelaskan oleh Nabi Saw adalah bukan bagian dari agama alias suatu penambahan agama. Sungguh argumntasi Abu Ubaidah tersebut adalah suatu kesalahan fatal dan bertentangan dengan syare’at dan justru dia telah terjebak dalam bid’ah dholalah yang akan merusak sendi-sendi agama.
Simak penjelasannya berikut :
• Allah Swt berfirman :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ اَوْلَمْ يبَيّنْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan atau tidak dijelaskan oleh Rasulullah Saw, maka berhentilah (mengerjakannya).”
•Renungkan hadits Nabi Saw berikut :
ما احل الله في كتابه فهو حلال وماحرم فهو حرام وماسكت عنه فهو عافية فقبلوا من الله العافية فان الله لم يكن نسيا ثم تلا هذه الاية وماكان ربك نسيا
“ Apa yang dihalalkan Allah dalam kitabNya maka halal, apa yang diharamkan maka haram dan apa saja yang tidak dikomentarinya maka itu maaf (dispensasi). Maka terimalah dispensasi dariNya. Karena Allah Swt tidak pernah lupa, lalu beliau membaca ayat ini; Wama kaana rabbuka mansiyya “. (HR. Hakim, al-Bazzar dan ath-Thabrani)
Sanad hadits ini dinilai shahih oleh imam Hakim dan adz-Dzahabi dalam al-Mustadrak dan at-Takhshis.
Dalam hadits ini Rasulullah Saw member penegasan bahwa setiap hal yang tidak dikomentari maka merupakan dispensasi langsung dari Allah Swt. Sehingga dengan hadits ini dapat dimengerti bahwa banyak sekali amal sholeh dan kebaikan dilakukan di luar nash al-Quran secara jelas dan terperinci.
Bukan berarti Allah Swt lupa akan hal itu atau Nabi Saw berkhianat tidak menjelaskannya, karena beliau sendiri telah memberikan jawabannya dengan membaca ayat di atas tersebut :
وماكان ربك نسيا
“ Dan tidaklah Tuhanmu lupa “ (QS.Maryam : 64)
Setiap hal yang tidak pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw tidak bisa dianggap bid’ah ataupun dihukumi haram hanya karena tidak pernah dilakukannya, tanpa ada dalil yang melarangnya. Bahkan bisa jadi hal-hal yang tidak dilakukan Nabi Saw menunjukkan bahwa hal tersebut disyare’atkan.
Demikian juga setiap hal yang tidak pernah dilakukan generasi salaf, tidak bisa dianggap bid’ah hanya karena tidak pernah dilakukan mereka. Terkadang Nabi Saw tidak melalukan karena beberapa hal diantaranya :
- lupa, sebagaimana kejadian beliau waktu lupa dalam sholat dan ditanya “ Apakah ada hukum baru dalam sholat ? “ Nabi Saw menjawab ;
انه لو حدث في الصلاة شيء لنبأتكم به ولكن انما انا بشر مثلكم انسى كما تنسون فاذا نسيت فذكروني
“ Sungguh andai ada hukum baru dalam sholat akan aku beritahu kalian, namun aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, aku bisa lupa seperti kalian, jika aku lupa maka ingatkanlah aku “ (HR. Bukhari dan Muslim).
- khawatir akan diwajibkan bagi umatnya
- Menjaga perasaan orang lain
- Atau karena telah tercakup dalam keumuman ayat al-Quran dan Hadits. Seperti telah menjadi hal maklum, beliau tidak melakukan semua kesunnahan, karena telah termuat dalam ayat al-Quran ;
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون
“ Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan “ (QS. Hajj : 77)
Kesimpulannya adalah : setiap hal baru jika ada dasar agamanya yang mendukung, maka itu bukanlah bid’ah atau haram. Perhatikan ucapan imam Syafi’I berikut :
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف لان تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت او لما هو افضل او لعله لم يبلغ جميعهم علم به
“ Setiap hal yang mempunyai landasan syara’ maka bukan bid’ah walauppun tidak dilakukan oleh golongan salaf. Mereka tidak melakukannya karena terkadang ada udzur saat itu, ada yang lebih utama atau pengetahuan tentang hal tersebut belum sampai pada mereka semua “.
Bahkan sangat banyak sekali hal-hal baru yang dilakukan para sahabat dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw seperti contoh :
- Pemindahan Maqam Ibrahim yang dilakukan Umar bin Khaththab Ra dari tempat asalnya yang menempel Ka’bah ke tempat yang kita kenal sekarang ini.
عن عائشة ان المقام كان في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم وزمان ابي بكر ملتصفا بالبيت ثم اخره عمر بن الخطاب رضى الله عنه
“ Dari Aisyah Ra, sesunguhnya maqam Ibrahim pada masa Rasulullah Saw dan Abu Bakar menempel Ka’bah, kemudian Umar bin Khaththab Ra memindahkannya ke belakang “. (HR. al-Baihaqi).
- Abu Hurairah Ra membuat tasbih 2000 biji yang digunakan wiridan di setiap malamnya.
- Tambahan talbiyah Abdullah bin Umar pada talbiyah Rasulullah Saw, dalam shahih Muslim disebutkan :
وكان عبد الله بن عمر رضى الله عنهما يزيد فيها لبيك لبيك وسعديك والخير بيديك لبيك والرغبة اليك ةوالعمل
“ Abdullah bin Umar menambahi talbiyah Rasul Saw dengan kalimat ; “ Labbaika labbaika, wa sa’daika, wal khairu bi yadaika, labbaika ilaika war raghbatu ilaika wal ‘amal “. (HR. Muslim).
(Ibnu Abdillah AlKatibiy)
21. 11.2011
______________________________________________________________