Saudi, Wahabi dan Barat; ketiga variable ini memiliki keterkaitan yang saling menguntungkan untuk mendukung kepentingannya masing-masing. Saudi yang memiliki kepentingan penguasaan politik dan ekonomi membutuhkan legitimasi agama dari Wahabi, pada satu sisi. Dan pada saat yang tepat Wahabi menawarkan diri bekerjasama dengan Saudi untuk mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan yang sesuai dengan fahamnya yang puritan dan konservatif (Salah satu konservatisme ini diceritakan pada buku Ad Hussain ‘The Islamist’, terpanggangnya hidup- hidup 15 siswi sebuah sekolah di Saudi saat kebakaran melahap asrama putri tersebut. Gara-gara mutawwi’een (polisi agama) melarang para anggota pemadam kebakaran masuk ke asrama, karena beralasan di dalam sana para siswi tidak memakai jilbab, hijab, dan semacamnya. Ad Hussain, the Islamist, (New York, Penguin Book 2007), 245).
Sedangkan Wahabi memiliki kepentingan terhadap kebutuhan modal kepada Saudi untuk melanggengkan ajarannya, pada satu sisi. Pada sisi lain, Wahabi sadar bahwa Saudi tidak dapat ditangguhkan untuk melakukan penjaminan pada kelompoknya, sehingga Wahabi kembali bekerjasama dengan Barat untuk meminta jaminan perlindungan terhadap penyebaran paham fundamentalismenya. Wahabi menggunakan dua strategi dalam jalinan kerjasama dengan Barat yaitu menginginkan keuntungan dan jaminan perlindungan masyarakat Amerika terhadap kelompoknya, walaupun pada saat yang sama Wahabi menolak dan memberangus landasan kebebasan beragama Amerika Serikat (Stephen sulaiman Schwartz, the two face of Islam; Saudi fundamentalism and its role in terrorism, yang diterjemahkan oleh Hodri Ariev dengan judul dua wajah Islam; moderatisme dan fundamentalisme dalam wacana global, 330).
Bagi Saudi, paham purifikasi yang melekat pada Wahabi ini bisa menjadi pondasi untuk melegalkan politiknya (Lihat : Noah Salomon, the salafi critique of Islamism; doctrine, difference and the problem of islmic political action in contemporary sudan, dalam Roel Meijer (ed), Global Salafism; Islam’s new religious movement, (London, Hurst & Company 2009), 151). Pada sisi yang lain, Saudi membutuhkan kerjasama dengan Barat untuk meneguhkan dan melebarkan sayap ekonominya. Dan begitupun Amerika Serikat juga memiliki motif ekspansi perekonomian di Arab Saudi. Dan oleh karena itu, Amerika Serikat bekerjasama dengan Saudi untuk kepentingan ekonomi dan politik. Mereka bekerjasama untuk melanggengkan kesatuan kekuatan politik dan ekonomi, maka terciptalah ARAMCO dan pangkalan Militer Amerika di wilayah negaranya.
Legitimasi para ulama Wahabi memberikan ‘stabilitas’ politik yang dipaksakan buat Saudi, dan secara eksternal telah mendistorsi logika berfikir umat Islam dunia yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam sejarah pemikiran Islam, Wahabi sebenarnya tidak menempati posisi penting, bahkan secara intelektual bisa dikatakan dengan jenis kelompok yang marjinal. Wahabi menjadi signifikan karena dakwah extreem-nya dalam sisi gelap sejarah Islam, bukan karena pemikirannya, tapi karena kekuasaan politik Ibn Saud dan penerusnya. Di samping itu, para peneliti dan sejarawan Islam memandang Wahabi sebagai fenomena khas yang terpisah dari aliran pemikiran maupun gerakan Islam lainnya. Meskipun Wahabi dan Saudi berusaha menghapus sejarah lama dengan menghancurkan situs-situs Islam dan mencipta sejarah baru menurut versinya, namun sejarah dan track recordnya yang suram tetap menjadi suara terbanyak dari ummat Islam itu sendiri maupum pemerhati barat.
Ketiga variabel ini semuanya menggunakan teknik standard ganda.
___________________________________________________