Pembahasan dan Pengertian Tentang Taqlid (Mengikuti pendapat seseorang)
Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ’alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ’awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.
Muhammad Sa’id Ramadhan al‐Buthi mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut ”Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.” (Al‐Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah al‐syari’ah al‐Islamiyyah, 69)
Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al‐Suyuthi mengatakan: ”Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT:
(QS. Al‐Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al‐Kawkab al‐Sathi’ fi Nazhmi al‐Jawami 492)
Taqlid ialah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui hujjah yang menunjjukan kebenaran pendapat tersebut. Dalam hal ini, tak ada bedanya antara taqlid dan ittiba’ , karena keduanya mempunyai arti yang sama. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al Buthi ”Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba’. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.” (Al‐Lamazhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al‐Syari’ah al‐Islamiyah,69)
Dalam Al Quran Al Karim , Allah Azza Wajalla menggunakan kata‐kata ittiba’ sebagai pengganti kata‐kata taqlid, sebagaimana firmannya:
“(yaitu) ketika orang‐orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang‐orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang‐orang yang mengikuti: ʺSeandainya Kami dapat kembali (ke dunia), pasti Kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.ʺ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali‐kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (Al‐ Baqarah 166 ‐ 167)
Tidak ada keraguan lagi bahwa yang dimaksud “ittiba’” dalam ayat ini ialah “taqlid” yang terlarang. Adapun istilah yang anda pergunakan untuk membedakan arti taqlid dan ittiba’ dalam masalah ini hanya ada dua alternatif , yaitu :
Apabila anda mengerti dalil‐dalil dan mempunyai kemampuan untuk melakukan istinbath , berarti anda adalah mujtahid. Akan tetapi , bila anda tidak mengerti dalil dan tidak menguasai cara‐cara melakukan istinbath , anda adalah orang taqlid kepada mujtahid.
Bahkan ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al‐Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah :
”Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba’) langkah‐langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS‐al Baqarah, 168)
Taqlid terhadap ulama yang memiliki ilmu agama adalah perintah dari Allah yang mana Allah SWT berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (An Nahl 43).
Para ulama telah sepakat bahwa ayat diatas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama usul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid pada mujtahid.
Semakna dengan ayat diatas ialah firman Allah s.w.t :
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap‐tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At‐taubah 122)
Dalam ayat ini Allah Azz Wajalla melarang semua orang pergi berperang dan melakukan jihad, tepati memerintahkan agar segolongan dari mereka tetap tinggal di tempatnya untuk mempelajari ilmu agama sehingga bila orang‐orang yamg dapat memberikan fatwa tentang urusan halal ‐ haram serta menjelaskan hukum‐hukum Allah S.W.T lainya. Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang‐ orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum.
Al-Allamah Thayyib bin Abi Bakr al‐Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber‐taqlid.” (Mathlab al‐ Iqazh fi al‐Kalam al‐Syai’in min Ghurar al‐Alfazh, 87)
Adapun Taqlid dari segi Ijma’ di zaman sahabat menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi s.a.w. tidak sama tingkatan ilmu dan tidak kesemua nya ahli fatwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun. Dan masalah agama pun tidak diambil dari mereka semua. Diantara mereka ada yang jadi mufti atau mujtahid , tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum agama , tidak selalu menerangkan dalil‐dalil nya kepada yang meminta fatwa.
Rasulullah s.a.w. telah mengutus para sahabatnya yang ahli hukum kedaerah‐daerah yang penduduknya tidak mengenal Islam, selain hanya mengetahui akidah dan rukun‐ rukunnya saja. Kemudian para penduduk daerah tersebut mengikuti fatwa utusan rasulullah s.a.w dengan mengamalkan ibadah dan muamalah, serta segala macam urusan yang ada sangkut –paut nya dengan halal dan haram. Apabila para utusan Rasul menjumpai masalah yang tidak ditemui kan dalil nya dari Al Kitab dan as Sunnah, ia melakukan ijtihad dan memberi fatwa menurut petunjuk dari hasil ijtihadnya selanjutnya, penduduk setempat mengikuti fatwa tersebut. Hal di atas telah kami sampaikan bahwa ketika sahabat Mua’dz dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sebagaimana berikut:
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya.
Imam al Ghazali rahimahumullah dalam kitabnya Al Mustaasyfa pada bab taqlid dan istifta (meminta fatwa): “Dalil orang awam harus taqlid ialah ijma’ sahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam, tanpa memerintahkannya mencapai darajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama’ maupun para awam”.
Imam Al Aamidi berkata dalam kitabnya Al Ahkaam fii ushulil Ahkaam: “Ada pun dalil taqlid dari segi ijma’ ialah orang awam zaman sahabat dan tabi,in sebelum timbul golongan menentang, selalu meminta fatwa kepada para mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan hukum syariat. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan ‐ pertanyaan tanpa menyebut kan dalil‐dalinya dan tidak ada seorang pun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa seorang awam boleh mengikuti mujtahid secara muthlak “.
Dalil Taqlid dari segi Akal, untuk taqlid ini kami mengambil dari perkataan Syekh Abdullah Darraz sebagai berikut: “Dalil taqlid dari segi akali pikiran ialah bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk ijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum, ada dua kemungkinan.
Pertama: Dia tidak terkena kewajiban melakukannya samasekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’.
Kedua: Dia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti dia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus taqlid.
Untuk yang kedua jelas tidak mungkin , sebab dengan melakukan penelitian itu, ia harus meniliti dalil‐dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari‐hari, yaitu meninggalkan semua perkerjaan yang ada, yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh kerana itu, tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemui masalah yang memerlukan pemecahan hukum.
Oleh kerana itu, setelah para ulama melihat dalil‐dalil yang cukup sempurna dari Al Kitab dan as Sunnah, serta dalil akal yang menegaskan bahwa bagi orang awam dan orang alim yang belum sampai pada tingkatan mampu melakukan istinbath dan ijtihad harus taqlid pada mujtahid, para ulama pun menyatakan bahwa kedudukan fatwa mujtahid. Hal ini kerana Al‐Quran Al Karim selain mewajibkan orang yang alim agar berpegang pada dalil‐dalil dan keterangan didalamnya, juga mewajibkan kepada orang bodoh (awam) berpegang pada fatwa nya orang alim dan hasil ijtihadnya.
Untuk menjelaskan masalah ini lebih lanjut, syekh as Syathibi berkata sebagai berikut: Artinya: “Fatwa‐fatwa para mujtahid itu bagi para orang awam bagaikan dalil syariat bagi para mujtahidin. Adapun alasannya ialah ada atau tidak adanya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja kerana mereka sedikit pun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi masalah meneliti dalil dan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sesungguhnya Allah s.w.t berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak menghetahui”.
Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim, oleh karena itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahlinya. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara muthlak, jadi kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti Syara’.” (Al Muwafaqah , karya Imam As syathibi jilid iv hlmn. 290)
Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al‐Awza’i, dan al‐Tsauri. Tapi galilah dalil‐dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al‐Qawl al‐Mufid li al‐Imam Muhammad bin Ali al‐ Syaukani 61).
Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al‐Dahlawi ketika mengomentari pendapat ibn Hazm “Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taklid itu haram (dan seterusnya)…itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah.” (Hujatullah al‐Baligah, juz I hal443‐444)
Semua dalil yang sudah kami sajikan menekankan kewajiban taqlid bagi orang yang kedudukan ilmunya terbatas dan tidak mampu melakukan istinbath hukum dan berijtihad. Sudah jelaslah dalil‐dalil berdasarkan penukilan yag sah dan ijma’ serta dalil akal yang menunjjukan berlaku nya taqlid dan bahkan wajib hukumnya bila tidak mampu mencapai derajat istinbath dan ijtihad.
Kami tidak memahami bagaimana mereka bisa menuduh dengan mudah bahwa orang yang mengamalkan majelis Tahlil dan Yasin yang mana dalil dan hujjah kami sajikan di atas masih juga di sebutkan sebagai TAQLID BUTA ?
Justru mereka lah yang memiliki pola pikir jumud / kaku serta terbelakang dan TAQLID BUTA secara serampangan kepada murobinya (gurunya) yang hanya bisa menebar kata‐kata bid’ah tanpa mendalami ilmu dan mencari kebenarannya dalam khasanah ilmu agama Islam yang bersumber kepada Al‐Qur’an, Sunnah/Hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Sungguh kita sangat menyayangkan tindak tanduk mereka ini tanpa ilmu yang jelas asalnya hanya bisa membakar “semangat” permusuhan tanpa TABAYUN terlebih dahulu untuk mencari bukti kebenaran yang nyata.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami bertaqlid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlaq dan sikapnya sehari‐harinya, di mana fatwa mereka diyakini berasal dari Al‐ Qur’an dan As‐Sunnah dan jelas semua amalan mereka memiliki dasar / dalil serta hujjah yang jelas dan kuat dan disepakati oleh seluruh ulama mazhab.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambil dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi, ketika menerangkan kepada murid‐muridnya bahwa bumi itu bulat, di hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitian dia sendiri. Dan begitu seterusnya..
Hal tersebut berarti taqlid merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya atau diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama pesantren mencetak ulama yang mumpuni.
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a’ma) yang menerima suatu pendapat mentah‐mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlid‐nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid adalah hal terpuji dan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada memaksakan diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.