Lanjutan dari yang pertama
وعنه أيضا أنه قال ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما فعاد عقله إليه أبدا
Dari imam Syafi’I juga, bahwasanya beliau berkata “Seorang yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya selama-lamanya.”
Jawaban :
Pertama ; Ibnul Jauzi tidak menyebutkan sanad periwayatan khobar ini, maka hal ini masih syubhat.
Kedua ; Makna kalam imam Syafi’I seandainya shahih, bukanlah seperti apa yang mereka asumsikan. Tidak mungkin beliau mengatakan hal itu sebab kita tahu bahkan imam Syafi’I sendiri pernah bergaul dengan ulama shufi selama 10 tahun dan kisah inipun juga dinukil oleh mereka :
صحبت الصوفية عشر سنين, فلم استفد منهم سوى حرفين وفي رواية : سوى ثلاث كلمات : الوقت سيف إن لم تقطعه قطعك , ونفسك إن لم تشغلها بالحق شغلتك بالباطل ، والعدم عصمة وفى رواية : العصمة أن لا تجد. نقله الحافظ السيوطي وغيره
“ Aku berteman dengan para shufi selama sepuluh tahun dan aku tidak mendapatkan faedah kecuali dua kalimat, dalam riwayat lain tiga kalimat yaitu Waktu adalah pedang jika kaum tidak memutusnya maka waktu itu yang akan memutusmu, jiawamu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka ia akan disibukkan dengan bathil dan ketidak adaan adalah sebuah penjagaan. Dalam riwayat lain penjagaan itu adalah kamu tidak mendapatinya “ (Dinukil oleh al-Hafidz as-Suyuthi)
Imam Syafi’I bergaul dengan oran-orang shufi selama sepuluh tahun lamanya, lalu beliau mengatakan tidak akan waras akal seseorang jika berteman dengan ulama tasawwuf selama empat puluh hari.
Apakah ini logis? Apakah imam Syafi’I akalnya tidak kembali alias tidak waras karena sudah bergaul dengan para shufi selama sepuluh tahun ? bahkan murid beliau Yunus bin Abdul A’la bergaul dengan kaum shufi selama tiga puluh tahun.
Atau apakah anda akan mengatakan bahwa imam Syafi’i tidak konsisten dengan ucapannya ?? Hasyaa wa kallaa..
Dan perhatikan komentar Ibnu Al-Qoyyim berikut terhadap kalam imam syafi’i :
قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت الصوفية فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت - أي ابن القيم - : يا لهما من كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم
" Imam Syafi'i berkata " Aku berteman dgn kaum shufi dan tidaklah aku mendapat MANFA'AT dari mereka kecuali dua kalimat yang aku dengar dari mereka yaitu " Waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memtusnya, jika tidak maka waktu itu yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak disibukkan dengan kebenaran, maka akan disibukkan dgn kebathilan ".
Aku katakan (Ibnul qoyyim) : " Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tsb dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran org yang mengatakan dua kalimat tsb, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam Syafi'i pada mereka..." (Madarij As-Salikin juz 3 hal; 129)
Ketiga ; Makna kalam imam Syafi’i tersebut adalah :
- Makna pertama, akal dalam kalam beliau adalah bermakna ihtibas (penahanan), artinya “ Barangsiapa yang melazimi tasawwuf selama empat puluh hari, maka hati dan lisannya tidak akan menahan hikmah yang muncul “.
Makna seperti ini sesuai dengan hadits Nabi Saw berikut :
من أخلص لله العبادة أربعين يوما ظهرت ينابيع الحكمة من قلبه على لسانه
“ Barangsiapa yang berusaha ikhlas kepada Allah dalam beribadah selama empat puluh hari, maka akan tampak baginya curahan-curahan hikmah dari hatinya atas lisannya “
Imam Syafi’i menetapkan bilangan empat puluh hari karena menyesuaikan dengan hadits tersebut.
- Makna kedua, yang dimaksud akal oleh beliau adalah tipu muslihat dan ini merupakan cabang dari sifat kemunafikan. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw berikut :
من صلى لله أربعين يوما في جماعه يدرك التكبيرة الأولى ، كتبت له برائتان : براءه من النار ، وبراءه من النفاق
“ Barangsiapa yang sholat karena Allah Swt selama empat puluh hari dan selalu mendapati takbiratul ihram bersama imam, maka ditulis baginya dua kebebasan, bebas dari neraka dan bebas dari sifat kemunafikan “.
Dengan ini semakin jelas kenapa imam Syafi’i menetapkan jumlah empat puluh. Dan semakin jelas pula penipuan wahhabi salafi pada umat muslim.
========================================================
Berbagai cara dan strategi busuk mereka lakukan untuk menyerang ajaran yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Muslim ini, umat yang selalu mengedepankan sikap damai, kasih sayang dan toleransi, umat muslim Ahlus sunnah waljama’ah.
Mulai dari mencela para ulama salaf maupun ulama besar sesudahnya seolah mereka ingin menunjukkan bahwa para ulama kita dalam kesalahan, sesat atau pun kata busuk lainnya dengan hanya bermodal taqlid pada ulama mereka yang kapasitas keilmuannya sangat jauh dibandingkan para ulama yang mereka cela. Merubah-rubah atau memotong, mengurangi atau menambahi naskah kitab-kitab clasik, membeli naskah dengan biaya yang begitu tinggi untuk kemudian dicetak dengan banyak perubahan pada naskahnya, bertujuan agar umat tertipu dengan membacanya.
Dan strategi inilah yang paling banyak mereka lakukan dan lebih diutamakan, sehingga mereka mampu mengumpulkan begitu banyak naskah dan mereka kumpulkan dalam satu wadah technologi canggih agar lebih praktis digunakan namun pastinya sudah banyak perubahan, distorsi, pengurangan ataupun penambahan yang tak sepantasnya ada.
Dan juga agar para generasi muda kita terutama kalangan santri, siswa dan pelajar mudah ditipu dan dipengaruhinya, belakangan dikenal dengan istilah Kitab Listrik, ya jika seandainya listrik padam, maka hilanglah kitab mereka, hilanglah ilmu mereka, hilanglah hujjah mereka. Memang hal ini cukup bermanfaat namun tak menepis kemungkinan bahaya pengaruh bagi pemula yang tidak mendalami dasar-dasar ajaran Ahlus sunnah waljama’ah..
Kemudian mereka mulai membuat program tarjih bagi para pelajar, di mana mereka diberi keluasan untuk mengkritiki pendapat para ulama, mencermati dan mencari celah perbedaan yang terjadi pada imam madzhab dan para ulama pengikutnya dengan pembahasan mendalam, penuh cacian pada ulama yang mereka kritiki kemudian mereka ambil pendapat yang menurut mereka paling rajah atau kuat.
Hanya bermodalkan ilmu yang pas-pasan dan itu pun bukan dengan hasil kajian murni mereka, namun mereka masih taqlid pada ulama yang mentarjihnya. Seenaknya mereka mencaci ulama, mengkritiki ulama yang sungguh kredibilitasnya tidak diragukan lagi, mencomot pendapat sana-sini tanpa sikap proposionalisme, dan sungguh padahal keilmuan mereka tak ada sekecil kuku jari kelingking para ulama yang mereka kritki. Mereka tak hafal Quran, tak hafal ribuan hadits, tak memguasai ilmu alat, nahwu, shorof, balaghah, ma’ani, badhi’, nashk manskhuh, ilmu qiroaat, ilmu ushul fiqih, mustholah hadits, ushul tafsir, ulumul quran dan ilmu lainnya. Maka tanpa sadar atau tidak, mereka telah diajarkan untuk tidak menghormati para ulama pendahulu mereka.
Diajarkan untuk tidak memiliki prinsip, tak jelas dan dalam kebimbangan.
Saat ini mereka gencar melakukan penilaian negative pada para ulama pengikut madzhab dengan alasan studi kritis atau jarh wa ta’dil yang sungguh tak layak bagi mereka menyebutkan istilah-istilah ini, seoalah mereka memiliki ilmu lebih untuk mengkritiki para ulama sebelumnya, seolah mereka mengganggap diri mereka para ulama mujaddid yang berusaha memperbaharui metode para ulama sebelumnya.
Mereka berusaha keras memberi penilaian kritis atas ikhtilaf yang terjadi di antara para ulama madzhab, menggambarkan dan menjelaskan dengan penjelasan penuh paksaan seolah ingin member tahu pada para pengikut ulama madzhab tersebut bahwa ikhtilaf tersebut adalah ikhtilaf perseteruan, permusuhan dan bahkan saling caci memaki.
Maka dengan ini sebenarnya mereka telah menuduh para ualam tersebut dengan tuduhan keji dan memfitnah para ulama yang berikhtilaf seolah para ulama tersebut tak memahami ilmu adab, tak memahami ilmu akhlak tak memahami toleransi, tak memahami ilmu Ihsan, padahal justru ikhitlaf (perbedaan) mereka adalah sebuah ijtihad yang mendapat rekomendasi dari Rasulullah Saw. Sungguh tuduhan dan fitnahan yang langit, bumi dan gunung tak mampu memikulnya...
Sumber : Ibnu Abdillah Al-Katiby
__________________________________________________